Pendidikan Gratis Yang Manusiawi
Mantan Presiden Afrika selatan, Nelson Mandela, mengatakan bahwa,
pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk menguasai dunia. Tentu
saja, hal itu diungkapkan oleh orang yang membebaskan Afrika Selatan
dari politik apartheid itu karena mengingat betapa begitu
pentingnya peran pendidikan bagi kehidupan manusia. Pendidikan bisa
membawa manusia yang tadinya berada di ruang gelap gulita ke ruang yang
terang benderang. Dengan pendidikan, manusia bisa terbebas dari belenggu
kebodohan, kemiskinan, dan keterpenjaraan pemikiran. Karena pendidikan,
jiwa manusia akan tumbuh dan membuat jiwa itu merdeka.
Pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam bukunya, Pendidikan Yang Memiskinkan (2004,
Galang Press), Darmaningtyas menuliskan, "Pendidikan adalah usaha sadar
dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih
baik". Dari kedua filosofi pendidikan yang dituliskan di atas, sudah
cukup jelas bahwa pendidikan adalah salahsatu kebutuhan primer dalam
hampir semua sendi kehidupan manusia.
Mengingat
pentingnya peran pendidikan bagi kelangsungan hidup manusia,
sewajarnyalah jika pendidikan menjadi hajat hidup orang banyak. Dengan
begitu, perlu adanya upaya perbaikan sistem pendidikan yang ada sekarang
dan internalisasi kesadaran bahwa pendidikan bukanlah komoditas bisnis.
Pendidikan, selayaknya udara, mestinya bisa dinikmati oleh siapa saja,
kapan saja, dan di mana saja tanpa harus membayar. Artinya, pendidikan
seharusnya gratis tanpa terjebak dalam jurang dikotomi antara kaya dan
miskin. Stigma pendidikan gratis (hanya) bagi orang miskin (tidak mampu)
sudah harus dihilangkan. Oleh karena, pendidikan gratis tidak hanya
milik dan diperuntukkan bagi orang miskin saja. Pendidikan gratis adalah
untuk semua orang.
Tidak bisa dimungkiri,
pemahaman bahwa pendidikan gratis hanya diperuntukkan bagi orang miskin
malah cenderung tidak manusiawi dan diskriminatif. Sekolah-sekolah
terbuka yang menyelenggarakan pendidikan gratis bagi orang miskin
terkesan hanya sebuah pembenaran dari pemerintah, sehingga seolah-olah
pemerintah peduli terhadap nasib Si miskin. Padahal, pada kenyataannya,
sekolah-sekolah gratis hanya menjadi ajang perkumpulan para pelajar yang
tidak belajar.
Di sekolah-sekolah terbuka, para
pelajar tidak mendapatkan pelajaran layaknya para pelajar di
sekolah-sekolah berbayar. Minimnya fasilitas pembelajaran yang didapat
para pelajar di sekolah-sekolah terbuka—seperti tenaga pengajar dan
fasilitas pendukung kegiatan belajar lainnya— membuat para pelajar di
sekolah-sekolah terbuka hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol dan
bersantai di ruang kelas. Para pengajar yang seharusnya memiliki
dedikasi untuk memberikan pelajaran kepada para pelajar—meskipun di
sekolah terbuka—cenderung tidak serius dalam menjalankan tugasnya.
Mungkin para pengajar merasa enggan dan malas karena mengajar di sekolah
terbuka tidak mendapat bayaran dari para pelajar.
Pendidikan gratis yang diselenggarakan di sekolah-sekolah terbuka pada
hakikatnya hanya mewajibkan para pelajar untuk bersekolah. Para pelajar
tidak diwajibkan untuk belajar. Hal ini berakibat pada merosotnya
semangat belajar dari para pelajar yang bersekolah di sekolah-sekolah
terbuka. Selain itu, adanya sekolah-sekolah terbuka (gratis) membuat
mental dan jiwa kreativitas para pelajarnya menjadi tumpul dan cenderung
pemalu. Hal ini, salahsatunya disebabkan oleh penyematan gelar “pelajar
miskin” yang kerap diterima oleh para pelajar di sekolah-sekolah
terbuka.
Untuk itu, pendidikan gratis yang hanya
bagi orang miskin dengan produknya, yaitu sekolah terbuka, harus segera
dihilangkan karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan—yang
sejatinya adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Pendidikan gratis
bagi semua orang (dari segenap strata sosial) adalah solusi untuk
menghindari terciptanya pelajar-pelajar yang berjiwa terjajah, bermental
pengecut, dan ber-IQ jongkok. Tentunya, sekadar menggratiskan
pendidikan bukanlah solusi yang tepat, melainkan harus juga dibarengi
dengan penerapan sistem pendidikan yang tidak pilih kasih. Dengan
begitu, pelajar yang berasal dari keluarga kaya dan pelajar yang berasal
dari keluarga miskin dapat berada di satu ruang kelas dan duduk di satu
meja tanpa perasaan superior atau inferior.
Pendidikan gratis mutlak milik semua orang. Dalam pendidikan tidak ada
kaya dan tidak ada miskin. Apalagi jika sampai mengatakan, pendidikan
gratis bagi semua orang tidak adil bagi orang miskin, karena orang
(pelajar) dari golongan keluarga kaya pun dapat menikmatinya tanpa harus
membayar. Kalau untuk urusan subsidi BBM atau pembagian beras miskin
(raskin), mungkin bisa saja dikatakan tidak adil jika diberikan kepada
semua orang. Namun, jika itu menyangkut masalah pendidikan, gratis itu
mutlak dan harus bisa dinikmati oleh semua orang. Karena pendidikan
bukanlah komoditas yang boleh diperjual-belikan.
Seperti ungkapan yang dinyatakan di atas bahwa pendidikan selayaknya
udara, bisa dinikmati oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja
tanpa harus membayar. Ungkapan ini jelas bermakna bahwa pendidikan sudah
seharusnya bisa dinikmati oleh siap saja, kapan saja, dan di mana
saja—juga tanpa harus membayar. Kata “gratis” yang kerap disematkan
kepada orang msikin—jika itu adalah pendidikan—sudah saatnya
dihilangkan. Karena, dengan mengindentikkan kata “gratis”—khususnya
dalam hal pendidikan—dengan orang miskin, justeru hanya akan semakin
memarjinalkan orang miskin.
Salahsatu manfaat dari
diselenggarakannya pendidikan gratis bagi semua orang adalah
terciptanya iklim kehidupan yang sehat antara orang kaya dan orang
miskin serta terciptanya persamaan kualitas pendidikan yang didapat,
baik yang didapat oleh orang kaya maupun orang miskin. Dengan
begitu—paling tidak—di satu bidang dalam kehidupan ini—yaitu
pendidikan—tidak ada kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang
miskin.
strong>Sekolah: Ajang Transaksi Bisnis
Beragam upaya dari para aktivis dan orang-orang yang peduli dengan
pendidikan yang menyuarakan pendidikan gratis dan manusiawi, ternyata
belum mampu menggungah para penyelenggara pendidikan di negeri ini.
Ironisnya, harapan yang entah kapan akan terwujud itu, malah sangat
sulit ditemukan di sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi garda
terdepan dalam upaya untuk memanusiakan manusia. Sekolah yang seharusnya
menjadi tempat untuk mengenyam pendidikan—sehingga manusia bisa
terbebas dari belenggu kebodohan—malah menjadi monster seram yang selalu
menghantui dan mengganggu tidur masyarakat. Sekolah sebagai salah satu
tempat transfer ilmu malah menjadi sangat sulit diakses oleh orang
miskin.
Melihat realitas di atas, tidak
mengherankan bila sekolah-sekolah kini menjadi lahan bisnis yang amat
menjanjikan. Bisnis pendidikan menjadi bisnis yang menggiurkan karena
memiliki pangsa pasar yang jelas sehingga akan dengan mudah meraup
keuntungan. Kecermatan dalam membidik peluang usaha pendidikan dapat
terlihat dari berlomba-lombanya orang—terutama yang memiliki modal—untuk
membangun gedung sekolah. Tujuannya bukan untuk mencerdaskan
masyarakat, tetapi meraup keuntungan dari bisnis yang biadab ini.
Belum lagi jika melihat sistem pendidikan di sekolah-sekolah di
republik ini, masih sangat jauh dari harapan sebagai tempat yang
diharapkan dapat membuat orang menjadi cerdas. Karena
sekolah-sekolah—khususnya sekolah formal berbayar—masih menggunakan
sistem pendidikan yang bersandar pada budaya industri (Atma Balaraja,
“Upaya Pendidikan Gratis dan Merakyat”). Sistem pendidikan yang sengaja
dibentuk mengikuti ritme dunia industri itu pada akhirnya hanya mencetak
lulusan yang bermental budak, terjajah, dan amat tergantung pada dunia
industri.
Sisi kelam dunia pendidikan di republik
ini dapat dilihat mulai dari adanya uang pangkal, uang daftar ulang,
uang seragam, uang OSIS, sampai uang parkir bagi pelajar yang membawa
kendaraan. Di tingkat sekolah dasar, masih saja ada pungutan-pungutan
liar yang—untuk mengelabui masyarakat—dirubah istilahnya menjadi
sumbangan. Sumbangan itu terdiri dari sumbangan buku paket, sumbangan
perpisahan, dan sumbangan “aneh” lainnya yang harusnya bersifat sukarela
(bukankah namanya memang sumbangan?), pada prakteknya wajib dipenuhi
oleh semua pelajar.
Kebiadaban sistem pendidikan
yang dijadikan lahan bisnis lebih memiriskan lagi ketika ujian akan
berlangsung. Pelajar yang tidak atau belum bisa melunasi biaya
administrasi dilarang untuk mengikuti ujian. Selain sangat tidak
manusiawi dan diskriminatif, dilarangnya pelajar yang belum selesai
biaya adminitrasinya untuk mengikuti ujian itu akan berdampak buruk
terhadap mental Si Pelajar. Si Pelajar menjadi malu, merasa kecewa,
dan—bukan tidak mungkin—akan berpengaruh terhadap semangat belajarnya.
Akan tetapi, pihak sekolah menjustifikasi perlakuannya kepada
pelajar-pelajar yang belum selesai biaya administrasi dengan mengatakan,
bila para pelajar itu diizinkan untuk mengikuti ujian, maka pihak
sekolah khawatir akan terjadi kecemburuan sosial dari pelajar yang sudah
melunasi biaya administrasi. Selain itu, pihak sekolah juga khawatir,
jika para pelajar yang belum membereskan biaya administrasinya
diperbolehkan mengikuti ujian, para pelajar itu (dalam hal ini wali
murid)— karena merasa sudah ikut ujian—tidak kunjung membayar biaya
adminitrasi. Suatu sikap dan pernyataan yang aneh yang seharusnya tidak
dilakukan oleh penyelenggara pendidikan di negeri ini.
Kemirisan berlanjut tatkala memasuki tahun ajaran baru. Para pelajar
baru yang belum bisa melunasi uang pangkal (uang gedung) tidak akan
mendapati namanya di daftar pengunguman pembagian kelas. Sederhananya,
para pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal tidak mendapatkan
kejelasan di kelas mana ia ditempatkan. Sedangkan pelajar yang sudah
melunasi uang pangkal akan dengan mudah mendapati namanya di daftar
pengunguman pembagian kelas. Alhasil, pelajar yang belum bisa melunasi
uang pangkal hanya akan ditempatkan di satu ruang kelas yang khusus
“menampung” para pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal.
Ironisnya, meski berada dalam satu ruang kelas, para pelajar yang belum
bisa melunasi uang pangkal tersebut sebenarnya berada di ruang kelas
fiktif—karena ruang kelas yang menjadi tempat para pelajar itu hanyalah
penampungan. Jika mereka tidak kunjung melunasi uang pangkal dalam waktu
yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah, maka para pelajar itu akan
ditolak dari sekolah tersebut.
Kejadian serupa
terjadi pada para pelajar yang naik ke kelas selanjutnya. Bedanya, di
sini bukan masalah uang pangkal, melainkan masalah uang daftar ulang.
Pelajar yang belum bisa melunasi uang daftar ulang akan mengalami nasib
serupa dengan juniornya, yaitu tidak mendapatkan ruang kelas. Dan jika
tidak bisa melunasi uang daftar ulang dalam waktu yang ditentukan pihak
sekolah, maka para pelajar itu akan di-skor atau dibiarkan begitu saja
meskipun kegiatan belajar mengajar sudah berlangsung. Hal ini dilakukan
oleh pihak sekolah dengan tujuan agar Si pelajar merasa malu dan
tentunya akan merengek kepada orangtuanya agar segera melunasi segala
beban biaya pendidikan. Hal ini, tentu saja, mencederai nilai-nilai
luhur pendidikan.
Sekolah yang hanya dijadikan
lahan bisnis dengan proyek bisnis pendidikan hanya menjadikan sekolah
sebagai bentuk lain dari penjara (Atma Balaraja, “Sekolah Samadengan
Penjara”). Sekolah dengan sistem pendidikan yang sengaja diciptakan
untuk memasok tenagakerja bagi dunia industri hanya memenjarakan jiwa,
daya kreativitas, dan daya intelektualitas pelajar. Jiwa pelajar
terpenjara karena dipaksa oleh sekolah untuk menjadi manusia yang
penurut, tidak banyak protes, dan digiring untuk tunduk kepada
serangkaian aturan yang hampir sama dengan aturan di dalam penjara.
Kreativitasnya terpenjara karena sekolah tidak bisa menjadi fasilitator
untuk pelajar agar pelajar termotivasi untuk berkarya dan berinovasi
serta tumbuh menjadi dirinya sendiri. Sekolah malah mengekang daya
kreativitas pelajar dengan serangkaian kurikulum standar yang hanya
mengajari pelajar untuk membaca, menulis, dan berhitung, serta sedikit
pelajaran yang lain. Sekolah tidak mengajari pelajarnya dengan pelajaran
kesenian yang cukup. Padahal dalam pelajaran kesenian terkandung
nuansa-nuansa yang merangsang pelajar untuk menjadi kreatif.
Daya intelektualitasnya terpenjara karena sekolah membekali para
pelajar dengan pelajaran alakadarnya, seperti membaca, menulis, dan
berhitung. Sedikit sekali pelajaran kewirausahaan—itu pun dengan
pengajar yang bukan seorang wirausaha, melainkan seorang pengajar yang
menerima gaji atau, dengan kata lain, seorang buruh. Sekolah juga tidak
mengajari pelajarnya untuk berani mandiri. Sekolah malah menggiring
pelajarnya agar siap-pakai di dunia kerja (industri) jika lulus nanti.
Sekolah hanya memberikan pelajaran standar. Yang penting, pelajar bisa
mendapat tempat di dunia kerja (itu pun jika Si pelajar beruntung).
Sekolah sama atau hampir sama dengan penjara. Dalam penjara, jika
seorang tahanan tidak memberikan upeti berupa uang kepada sipir dan
tahanan yang lain, maka bisa dipastikan tahanan tersebut akan menjadi
sansak hidup tempat berlatih tinju bagi sipir dan tahanan yang lain.
Karena tidak memberikan upeti, maka ketika tahanan tersebut jadi
bulan-bulanan tahanan yang lain, para petugas sipir tidak akan
menolongnya, malah akan memberikan semangat kepada tahanan yang sedang
“berlatih tinju” agar semakin keras memukul. Dengan begitu, tahanan yang
menjadi bulan-bulanan atau keluarganya akan berusaha maksimal untuk
mencari uang yang akan dijadikan persembahan kepada sipir.
Di sekolah, jika pelajar belum melunasi segala biaya yang harus
dilunasi, maka pelajar itu tidak akan diperbolehkan mengikuti kegiatan
belajar, bahkan kelas pun tidak mendapatkan. Parahnya lagi, ketika
pelajar yang berasal dari kalangan tidak mampu menjadi bahan cemoohan
pelajar yang lain yang berasal dari kalangan mampu, pihak sekolah akan
membiarkan itu terjadi karena pihak sekolah lebih berkepentingan
terhadap lunasnya biaya administrasi ketimbang bersimpati kepada
perasaan Si Pelajar.
Sikap sekolah dan pelajar yang berasal dari
kalangan mampu yang arogan disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak
didasari oleh prinsip-prinsip pendidikan yang sebenarnya. Sistem
pendidikan yang hanya berorientasi kepada uang (money oriented)
hanya menciptakan sikap-sikap yang arogan dan tidak menghargai rasa
kemanusiaan. Jika saja sistem pendidikan didasari oleh nilai-nilai luhur
dari pendidikan itu sendiri, niscaya akan tercipta sikap yang penuh
toleransi, solider, dan menghargai rasa kemanuisaan. Karena dalam sistem
pendidikan yang sebenarnya, terkandung ajaran moral yang agung,
sehingga pengajar dan pelajar akan memiliki sikap filantrof yang santun.
Akan tetapi, karena sistem pendidikan yang masih diselimuti kabut
kapitalisme dan berbagai kepentingan politis lain, maka tidak heran jika
kualitas pendidikan menjadi sangat memrihatinkan. Sistem pendidikan
yang di dalamnya ada berbagai macam kepentingan bisnis hanya bertujuan
menghasilkan keuntungan semata, tidak memikirkan tujuan yang seharusnya
menjadi tujuan sejati dari pendidikan. Contohnya bisa dilihat dari sikap
dan tingkahlaku para pengajar yang lebih mementingkan honor tanpa
melakukan evaluasi serta peningkatan kinerjanya sebagai pengajar.
Sementara dari para pelajar sendiri, contoh tingkahlakunya bisa dilihat
dari aksi mereka yang gemar tawuran.
strong>Seharusnya Guru, Bukan Pengajar
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki
Ajar Dewantara adalah Bapak pendidikan di negeri ini. Melalui
pemikiran-pemikirannya, banyak tokoh-tokoh seangkatannya menjadi
tergugah untuk turut berpikir dan berjuang membebaskan Negeri ini dari
penjajah. Salahsatu tulisannya yang menjadi tonggak pergerakkan adalah “Als Ik eens Nederlander Was” (“Seandainya Saya Orang Belanda”). Tulisan yang dimuat di Harian De Express milik
Dr. Douwwes Dekker itu menunjukkan keberaniannya menentang rencana
penarikkan sumbangan Pemerintah Kolonial Belanda dari masyarakat
Hindia-Belanda untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari
penjajahan Spanyol.
Karena tulisannya itu, Ki Ajar
Dewantara harus menerima hukuman dari pemerintah Kolonial
Belanda—melalui Gubernur Jendral A.F.W. Idenburg (masa jabatan
1909—1916) dengan hukumaninternering atau hukuman tahanan kota tanpa proses pengadilan. Ki Ajar Dewantara pun dibuang ke Pulau Bangka.
Ki
Ajar Dewantara yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 memiliki dedikasi
yang luar biasa dalam upaya menyebarkan minat belajar kepada masyarakat
Hindia-Belanda alias Indonesia. Tujuannya, dengan merasuknya pendidikan
ke dalam jiwa masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat
Hindia-Belanda akan tergugah dan berpikir untuk memerdekakan diri. Maka,
atas jasanya, tanggal kelahiran Ki Ajar Dewantara, yaitu tanggal 2 Mei,
dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Semboyan Ing ngarsa sung tulada (di depan menjadi teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat), dan tut wuri handayani (di
belakang memperbaiki) menjadi semboyan sakral dalam dunia pendidikan di
Nusantara. Akan tetapi, benarkah ajaran yang terkandung dalam ketiga
semboyan di atas dimiliki oleh para penyelenggara pendidikan di Negeri
ini? Jika mau berkata jujur, tentu saja, jawabannya belum.
Salah satu unsur yang berada di garis depan dalam dunia pendidikan
adalah guru. Kata “guru”, secara etimologis berasal dari bahasa
Sanskerta, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia yang seharusnya
bermakna “seorang yang ahli dalam bidang tertentu yang dianggap mulia”,
bukan sekadar perantara pengetahuan atau “orang yang pekerjaannya
mengajar”. Akan tetapi, makna guru kini telah bergeser—atau sengaja
digeser—menjadi sebuah profesi, seperti yang didefinisikan di dalamKamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi
Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002). Seharusnya, makna guru lebih
merujuk kepada sebuah pengabdian, bukan sebuah profesi.
Di sekolah-sekolah saat ini, sebenarnya sudah tidak ada lagi guru,
yang ada hanyalah pengajar. Karena pengajar zaman sekarang bukanlah
orang yang mengabdikan diri untuk pendidikan, melainkan orang-orang yang
menganggap mengajar adalah sebuah profesi. Selain itu, sebutan lain
dari guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa karena zaman dulu guru
mengajar dengan sukarela dan menganggap mengajar adalah sebuah
pengabdian. Jika merujuk kepada makna kata guru yang bearti seorang ahli
dalam bidang tertentu yang dianggap mulia, tentu saja seorang guru
memiliki kharisma dan teladan yang baik bagi murid-muridnya. Seorang
guru tidak hanya memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dasar,
tetapi juga menguasai ilmu pedagogi (Darmaningtyas, op. cit.).
Sedangkan para pengajar zaman sekarang adalah orang-orang yang tercetak
dari kebutuhan akan suatu pekerjaan, sehingga bagi pengajar zaman
sekarang yang penting adalah memiliki kemampuan untuk mengajarkan
membaca, menulis, dan berhitung. Pengajar zaman sekarang jasanya sudah
diberi tanda berupa gaji atau honor mengajar. jadi, pengajar zaman
sekarang tidak tepat bila disebut “pahlawan tanpa tanda jasa” karena
pengajar zaman sekarang bukanlah guru.
Sistem
pendidikan yang digambarkan di atas jelas sangat membutuhkan guru, bukan
pengajar karena guru akan mampu untuk tidak sekadar memberi pelajaran
dasar, melainkan juga mampu memberikan pelajaran moral, menanamkan benih
kreativitas, intelektualitas, dan (yang pasti) orientasi mengajar
seorang guru tidak tertuju kepada gaji, melainkan kepada panggilan jiwa
untuk mengabdi. Selain itu, guru juga bisa menjadi teladan perilaku yang
baik bagi para pelajar. Dalam bahasa Jawa, kata guru diartikan sebagai
pemampatan dari kata digugu dan ditiru. Digugu berarti orang yang didengar ucapannya dan ditiru berarti dicontoh tingkahlakunya.
Hilangnya Fungsi Sekolah
Makna awal dari kata “sekolah” adalah “waktu senggang” (leisure), kemudian menjadi “obrolan santai”, lalu “tempat untuk kegiatan tersebut”. Kata “sekolah” berasal dari bahasa Latin, yaituschola, yang kemudian diserap ke berbagai bahasa menjadi école (Perancis), escuela (Spanyol), scuola(Italia), schule (Jerman), scola (Swedia), dan skola (Rusia)—(Roem Topatimasang, Sekolah itu Candu, INSTTPress).
Dalam perjalanannya, makna kata “sekolah” dipersempit menjadi “tempat
terjadi kegiatan belajar mengajar”. Sehingga dalam maknanya sekarang,
sekolah adalah satu tempat yang berfungsi sebagai sarana untuk berbagi
ilmu. Meskipun agak melenceng dari makna awalnya, namun dengan
pengertian “sekolah” sebagai “sarana atau tempat untuk berbagi ilmu”
masih bagus dan layak untuk diapresiasi.
Sayangnya, fungsi sekolah sebagai sarana atau tempat berbagi ilmu
(kegiatan belajar mengajar) hanya sebatas arti harfiah saja karena, pada
kenyataannya, fungsi itu tidak lebih daripada formalitas belaka.
Sekolah yang lebih mirip dengan penjara bisa dikatakan sudah kehilangan
fungsinya sebagai tempat untuk mencerdaskan seseorang. Fungsi sekolah
yang seharusnya adalah tempat belajar kini berganti—atau sengaja
diganti—menjadi tempat transaksi bisnis karena di sekolah-sekolah
sekarang kegiatan belajar hanyalah rutinitas yang membosankan.
Fungsi sekolah yang telah berganti menjadi ajang transaksi bisnis hanya
menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis dan pelajar sebagai
konsumennya. Seperti yang dituliskan di atas, apa pun kegiatan yang
terjadi di sekolah, sebisa mungkin dikomersilkan oleh pihak sekolah.
Bahkan, sekadar untuk ulangan saja, yang soalnya difotokopi oleh
pengajar, pelajar harus membayar dengan harga yang beberapa kali lipat
dari harga fotokopi yang sebenarnya. Misalnya, ada ulangan pelajaran
Bahasa Indonesia. Soal yang difotokopi oleh pengajar sebanyak dua lembar
dengan harga Rp. 400. Akan tetapi, pelajar diharuskan membayar Rp. 3.
000 oleh pengajar. Atau, kasus yang lain, untuk memarkir sepeda motor di
halaman sekolah saja pelajar diharuskan membayar uang parkir. Hal ini
sama saja dengan memarkir sepeda motor di halaman supermarket ketika
akan berbelanja.
Sekolah juga sudah tidak mampu
mencetak kecendekiawanan pada lulusannya. Lulusan sekolah kebanyakan
tidak mampu dan tidak berani untuk bersaing dalam kehidupan. Untuk
pelajarnya, sekolah sudah tidak mampu menanamkan materi pelajaran di
benak pelajar karena dalam satu hari pelajar dicekoki pelajaran yang
banyak namun dengan sistem mengajar yang standar. Alhasil, pelajar
menjadi limbung dan akhirnya tak ada satu pun pelajaran yang diingat.
Selain itu, sekolah dalam hal ini telah gagal menanamkan rasa
filantrofis kepada pelajarnya. Terbukti dengan selalu adanya permusuhan
antar-pelajar dan seringnya terjadi tawuran. Ini menunjukkan bahwa,
sekolah tidak mampu menanamkan nila-nilai kemanusiaan kepada pelajar.
Sudah seharusnya semua yang terlibat dalam dunia pendidikan
mengevaluasi diri, mengingat semakin terpuruknya kualitas pendidikan di
negeri ini. Selenggarakan pendidikan gratis yang manusiawi, tempatkan
guru (bukan pengajar) di sekolah, dan kembalikan fungsi sekolah sebagai
sarana untuk memanusiakan manusia. Hilangkan segala bentuk bisnis di
sekolah, hilangkan juga segala kepentingan politis dalam pendidikan
karena pendidikan bukanlah komoditas bisinis atau ajang untuk
politisasi.